Oleh Anand Krishna
Anand Krishna, http://www.aumkar.org/ind/
Pernyataan saya mengenai Michael Jackson di status Facebook saya mengejutkan banyak orang, terutama saat saya mengajak mereka untuk berdoa baginya. Dalam beberapa menit, lusinan teman mengomentari status saya itu, sebagian besar dari mereka ialah para penggemar. Pesan yang lebih personal dikirimkan ke kotak surat saya atau di-email langsung, dan ada juga pesan dari teman saya yang menyebalkan: “Apa yang telah kamu dapatkan dengan melakukan sesuatu untuk Michael Jackson, pelaku pelecehan seksual terhadap anak, blah, blah, blah?” Ini pertanyaan yang sangat penting, pertanyaan besar, sebab bisa di paraprase menjadi berbagai macam cara. Apa yang saya dapatkan bila saya berurusan denganmu? Apa yang saya peroleh bila saya berurusan dengan penerbitan koran ini? Apa yang bisa saya dapat bila saya berurusan dengan Obama?
Atau, apa yang telah saya, Anda, dapatkan dengan berurusan dengan dunia ini? Barangkali jawaban terbaiknya ialah: “Karena saya hidup di dunia ini.” Inilah poin utamanya. Fakta bahwa Anda dan saya hidup di dunia ini menghubungkan kita dengan warga dunia lainnya.
Saya ingat sebuah puisi dari Saadi, seorang mistikus Sufi besar: “Umat manusia ialah anggota dari keseluruhan, dalam sebuah penciptaan dari satu esensi dan jiwa yang sama. Jika salah seorang anggota dirundung kesakitan, anggota lainnya juga akan merasakannya. Jika Anda tak bersimpati terhadap penderitaan sesama, nama manusia tak pantas bagimu.”
Tapi kesakitan manusia dan penderitaan tak bisa menghubungkan diriku dengan sesama manusia, jika saya tak memiliki semacam “perasaan” terhadap mereka. Jika saya memiliki ikatan emosional dengan anggota keluarga saya, maka saya bisa dengan mudah merasakan kesakitan mereka. Tapi, saya bisa jadi tak mempunyai ikatan semacam itu denganmu, oleh sebab itu saya tak bisa merasakan hal seperti itu terhadap dirimu, kesakitanmu dan penderitaanmu.
Tidak begitu dengan Michael Jackson, ia bisa merasakan kesakitan umat manusia. Ia mengumpulakan dana dan mendonasikan jutaan dolar untuk upaya-upaya kemanusiaan. Ia tidak memaksa orang lain untuk melakukan apa yang ia lakukan. Banyak orang yang lebih kaya darinya tak melakukan apapun untuk meringankan penderitaan sesama.
Michael Jackson berbeda dari mereka karena “perasaannya”. Kita bisa tetap mendengar gema rasa kasih sayangnya lewat lagu dan tulisannya, seperti kutipan bait lagu dari albumnya yang berjudul “Dangerous”.
“Kesadaran mengungkapkan dirinya lewat ciptaan. Dunia tempat kita hidup ini ialah tarian sang pencipta. Para penari datang dan pergi dalam sekejap mata tapi tariannya terus hidup.
“Dalam banyak kejadian, ketika aku menari, aku merasakan sentuhan dari sesuatu yang suci. Dalam banyak peristiawa, aku merasakan semangatku meluap dan menjadi satu dengan semua yang ada.
“Aku menjadi bintang dan rembulan. Aku menjadi kekasih dan yang dicintai. Aku menjadi pemenag dan yang ditaklukkan. Aku menjadi majikan dan bawahan. Aku menjadi penyanyi dan nyanyian. Aku menjadi yang tahu dan yang diketahui.
“Aku terus menari dan kemudian, ini menjadi tarian abadi penciptaan. Pencipta dan yang diciptakan larut dan menyatu dalam keceriaan yang begitu dalam. Aku terus menari…sampai suatu saat yang ada hanyalah…tarian.”
Perasaan semacam ini amat “dangerous (berbahaya)”, karena Anda tak dapat lagi menutup mata terhadap apa yang terjadi di sekitarmu. Michael telah berada dalam kondisi yang terbuka dan mudah diserang, bahkan sebelum mengalami perasaan semacam itu, ia telah bersenandung: “Kita ialah dunia…dunia harus keluar menjadi satu…Inilah saatnya untuk mengulurkan tangan bagi kehidupan.”
Ia merasa tersambung dengan dunia yang tak hanya kasat mata, tapi juga secara spiritual. Ia tak hanya berhenti pada pemahaman dan pengetahuan semata terhadap penderitaan orang lain; ia bahkan ingin membuat perubahan.
Dalam lagu “Man in The Mirror (Pria di Cermin)”, ia sesungguhnya melihat pantulan jiwanya sendiri dan menyanyi dengan tambahan gairah: “Jika kamu mau membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, lihatlah ke dalam dirimu, dan kemudiaan buatlah perubahan.” Ini bukan nasehat yang ia berikan kepada Anda dan diri saya, tapi kepada dirinya sendiri: “Aku akan membuat perubahan, sekali saja dalam hidupku, ini akan terasa sungguh baik, akan membuat perbedaan, akan membuatnya benar…”
Kesadaran bahwa ia menjadi “korban cinta diri yang egois” membuatnya lebih terobsesi lagi dengan gagasan untuk menyebarkan jenis cinta yang tepat, untuk menyembuhkan dirinya sendiri dan ” Heal The World (Menyembuhkan Dunia)” untuk “membuatnya tempat yang lebih baik bagimu dan bagiku”. Ia memimpikan sebuah dunia di mana “Black or White (Hitam atau Putih” tak menjadi persoalan sama sekali, semua diperlakukan secara sama.
Dalam “Earth Song (Lagu Bumi)” ia menangis bersama Ibu Bumi: ” Apa yang telah kita perbuat pada dunia, lihatlah apa yang telah kita lakukan.” Merasa frustasi dengan semua yang terjadi di sekitarnya, ia melanjutkan: “Aku sering bermimpi, aku sering melihat sekilas di balik bintang; sekarang aku tak tahu di mana kita berada, walaupun aku tahu bahwa kita telah melenceng jauh.”
Kembali ke tahun 1970-an, saya mendapat kesempatan langka bisa berjumpa dengan filsuf J. Krishnamurti (1895-1986). Ia menderita perasaan frustasi yang serupa juga. Kemudian, dalam dokumentasi yang dibuat berdasarkan kisah hidupnya, mereka yang dekat dengannya saat hari-hari terakhir hidupnya membahas rasa frustasinya.
Baik filsuf J. Krishnamurti dan artis Michael Jackson, keduanya bicara tentang perubahan, tentang kebebasan sejati dari segala keterikatan, dari cara pandang yang usang. Dan, secara indah dikatakan oleh Mahatma Gandhi, keduanya menyadari pentingnya “menjadi perubahan itu sendiri” yang ingin mereka lihat terjadi di dunia. Kendati demikian, keduanya meninggal dalam rasa frustasi, seperti dialami juga oleh sang Mahatma. Gandhi yang tak bisa menerima ide pemisahan India berdasarkan agama.
J. Krishnamurti mengungkapkan rasa frustasinya lewat karya tulis dan berdiskusi dengan orang-orang di sekitarnya. Gandhi melepaskan frustasinya dengan menarik diri dari kancah politik dan kembali ke komunitasnya di Gujarat. Michael Jackson, sang bintang, melepaskan rasa frustasinya dengan bereksperimen dengan tubuhnya. Ia mengubah badannya menjadi laboratorium.
Dari diet ketat sampai beberapa kali operasi bedah plastik dan keterlibatannya dalam “petualangan” yang kurang populer, kehidupan cinta dan seksualnya – semuanya itu bisa dilihat sebagai manifestasi keinginan dalam diri untuk berubah. Perubahan ialah keduanya, mimpinya sekaligus obsesinya. Ketika ia “merasa” telah gagal untuk membawa perubahan, atau setidaknya itu bukanlah perubahan yang ia inginkan, ia menarik diri dan menutup diri dari dunia luar. Ini kesalahan yang patut disesali. Dengan melakukan hal itu, ia menutup semua saluran untuk melepaskan semua rasa frustasinya. Dan, ia meninggal sebagai seorang yang kesepian.
Kendati demikian, seorang pria, seorang bintang sekaliber Michael Jackson terlalu besar untuk bisa meninggal dunia. Sejatinya, ia ibarat bintang yang terlalu cemerlang untuk jatuh. Ia akan bersinar terus-menerus sepanjang tahun mendatang. Warisan lagu-lagunya, mimpinya terhadap dunia yang akan datang, dan obsesinya untuk berubah akan selalu diingat oleh generasi yang akan datang. Mimpi Michael akan selalu hidup, karena mimpinya bukanlah halusinasi dari orang kesepian, mimpinya ialah vis dari semua orang yang bisa memimpikan sesuatu yang besar.
Jackson, kami juga merasakan frustasimu dan kami akan mengubahnya menjadi sumber energi untuk mewujudkan mimpimu, untuk “membuat dunia yang lebih baik untukmu dan untukku”. Saya tak akan mengucapkan selamat tinggal untukmu wahai sahabat, karena dalam mimpimu itu perjumpaan kita terus berlanjut….
Penulis ialah aktivis spiritual, pengarang 120 buku lebih.
Anand Krishna , Jakarta | Sabtu, 4 Juli 2009 | Opini
Terjemahan oleh Nunung, source: The Jakarta Post
Anand Krishna, http://www.aumkar.org/ind/
Pernyataan saya mengenai Michael Jackson di status Facebook saya mengejutkan banyak orang, terutama saat saya mengajak mereka untuk berdoa baginya. Dalam beberapa menit, lusinan teman mengomentari status saya itu, sebagian besar dari mereka ialah para penggemar. Pesan yang lebih personal dikirimkan ke kotak surat saya atau di-email langsung, dan ada juga pesan dari teman saya yang menyebalkan: “Apa yang telah kamu dapatkan dengan melakukan sesuatu untuk Michael Jackson, pelaku pelecehan seksual terhadap anak, blah, blah, blah?” Ini pertanyaan yang sangat penting, pertanyaan besar, sebab bisa di paraprase menjadi berbagai macam cara. Apa yang saya dapatkan bila saya berurusan denganmu? Apa yang saya peroleh bila saya berurusan dengan penerbitan koran ini? Apa yang bisa saya dapat bila saya berurusan dengan Obama?
Atau, apa yang telah saya, Anda, dapatkan dengan berurusan dengan dunia ini? Barangkali jawaban terbaiknya ialah: “Karena saya hidup di dunia ini.” Inilah poin utamanya. Fakta bahwa Anda dan saya hidup di dunia ini menghubungkan kita dengan warga dunia lainnya.
Saya ingat sebuah puisi dari Saadi, seorang mistikus Sufi besar: “Umat manusia ialah anggota dari keseluruhan, dalam sebuah penciptaan dari satu esensi dan jiwa yang sama. Jika salah seorang anggota dirundung kesakitan, anggota lainnya juga akan merasakannya. Jika Anda tak bersimpati terhadap penderitaan sesama, nama manusia tak pantas bagimu.”
Tapi kesakitan manusia dan penderitaan tak bisa menghubungkan diriku dengan sesama manusia, jika saya tak memiliki semacam “perasaan” terhadap mereka. Jika saya memiliki ikatan emosional dengan anggota keluarga saya, maka saya bisa dengan mudah merasakan kesakitan mereka. Tapi, saya bisa jadi tak mempunyai ikatan semacam itu denganmu, oleh sebab itu saya tak bisa merasakan hal seperti itu terhadap dirimu, kesakitanmu dan penderitaanmu.
Tidak begitu dengan Michael Jackson, ia bisa merasakan kesakitan umat manusia. Ia mengumpulakan dana dan mendonasikan jutaan dolar untuk upaya-upaya kemanusiaan. Ia tidak memaksa orang lain untuk melakukan apa yang ia lakukan. Banyak orang yang lebih kaya darinya tak melakukan apapun untuk meringankan penderitaan sesama.
Michael Jackson berbeda dari mereka karena “perasaannya”. Kita bisa tetap mendengar gema rasa kasih sayangnya lewat lagu dan tulisannya, seperti kutipan bait lagu dari albumnya yang berjudul “Dangerous”.
“Kesadaran mengungkapkan dirinya lewat ciptaan. Dunia tempat kita hidup ini ialah tarian sang pencipta. Para penari datang dan pergi dalam sekejap mata tapi tariannya terus hidup.
“Dalam banyak kejadian, ketika aku menari, aku merasakan sentuhan dari sesuatu yang suci. Dalam banyak peristiawa, aku merasakan semangatku meluap dan menjadi satu dengan semua yang ada.
“Aku menjadi bintang dan rembulan. Aku menjadi kekasih dan yang dicintai. Aku menjadi pemenag dan yang ditaklukkan. Aku menjadi majikan dan bawahan. Aku menjadi penyanyi dan nyanyian. Aku menjadi yang tahu dan yang diketahui.
“Aku terus menari dan kemudian, ini menjadi tarian abadi penciptaan. Pencipta dan yang diciptakan larut dan menyatu dalam keceriaan yang begitu dalam. Aku terus menari…sampai suatu saat yang ada hanyalah…tarian.”
Perasaan semacam ini amat “dangerous (berbahaya)”, karena Anda tak dapat lagi menutup mata terhadap apa yang terjadi di sekitarmu. Michael telah berada dalam kondisi yang terbuka dan mudah diserang, bahkan sebelum mengalami perasaan semacam itu, ia telah bersenandung: “Kita ialah dunia…dunia harus keluar menjadi satu…Inilah saatnya untuk mengulurkan tangan bagi kehidupan.”
Ia merasa tersambung dengan dunia yang tak hanya kasat mata, tapi juga secara spiritual. Ia tak hanya berhenti pada pemahaman dan pengetahuan semata terhadap penderitaan orang lain; ia bahkan ingin membuat perubahan.
Dalam lagu “Man in The Mirror (Pria di Cermin)”, ia sesungguhnya melihat pantulan jiwanya sendiri dan menyanyi dengan tambahan gairah: “Jika kamu mau membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, lihatlah ke dalam dirimu, dan kemudiaan buatlah perubahan.” Ini bukan nasehat yang ia berikan kepada Anda dan diri saya, tapi kepada dirinya sendiri: “Aku akan membuat perubahan, sekali saja dalam hidupku, ini akan terasa sungguh baik, akan membuat perbedaan, akan membuatnya benar…”
Kesadaran bahwa ia menjadi “korban cinta diri yang egois” membuatnya lebih terobsesi lagi dengan gagasan untuk menyebarkan jenis cinta yang tepat, untuk menyembuhkan dirinya sendiri dan ” Heal The World (Menyembuhkan Dunia)” untuk “membuatnya tempat yang lebih baik bagimu dan bagiku”. Ia memimpikan sebuah dunia di mana “Black or White (Hitam atau Putih” tak menjadi persoalan sama sekali, semua diperlakukan secara sama.
Dalam “Earth Song (Lagu Bumi)” ia menangis bersama Ibu Bumi: ” Apa yang telah kita perbuat pada dunia, lihatlah apa yang telah kita lakukan.” Merasa frustasi dengan semua yang terjadi di sekitarnya, ia melanjutkan: “Aku sering bermimpi, aku sering melihat sekilas di balik bintang; sekarang aku tak tahu di mana kita berada, walaupun aku tahu bahwa kita telah melenceng jauh.”
Kembali ke tahun 1970-an, saya mendapat kesempatan langka bisa berjumpa dengan filsuf J. Krishnamurti (1895-1986). Ia menderita perasaan frustasi yang serupa juga. Kemudian, dalam dokumentasi yang dibuat berdasarkan kisah hidupnya, mereka yang dekat dengannya saat hari-hari terakhir hidupnya membahas rasa frustasinya.
Baik filsuf J. Krishnamurti dan artis Michael Jackson, keduanya bicara tentang perubahan, tentang kebebasan sejati dari segala keterikatan, dari cara pandang yang usang. Dan, secara indah dikatakan oleh Mahatma Gandhi, keduanya menyadari pentingnya “menjadi perubahan itu sendiri” yang ingin mereka lihat terjadi di dunia. Kendati demikian, keduanya meninggal dalam rasa frustasi, seperti dialami juga oleh sang Mahatma. Gandhi yang tak bisa menerima ide pemisahan India berdasarkan agama.
J. Krishnamurti mengungkapkan rasa frustasinya lewat karya tulis dan berdiskusi dengan orang-orang di sekitarnya. Gandhi melepaskan frustasinya dengan menarik diri dari kancah politik dan kembali ke komunitasnya di Gujarat. Michael Jackson, sang bintang, melepaskan rasa frustasinya dengan bereksperimen dengan tubuhnya. Ia mengubah badannya menjadi laboratorium.
Dari diet ketat sampai beberapa kali operasi bedah plastik dan keterlibatannya dalam “petualangan” yang kurang populer, kehidupan cinta dan seksualnya – semuanya itu bisa dilihat sebagai manifestasi keinginan dalam diri untuk berubah. Perubahan ialah keduanya, mimpinya sekaligus obsesinya. Ketika ia “merasa” telah gagal untuk membawa perubahan, atau setidaknya itu bukanlah perubahan yang ia inginkan, ia menarik diri dan menutup diri dari dunia luar. Ini kesalahan yang patut disesali. Dengan melakukan hal itu, ia menutup semua saluran untuk melepaskan semua rasa frustasinya. Dan, ia meninggal sebagai seorang yang kesepian.
Kendati demikian, seorang pria, seorang bintang sekaliber Michael Jackson terlalu besar untuk bisa meninggal dunia. Sejatinya, ia ibarat bintang yang terlalu cemerlang untuk jatuh. Ia akan bersinar terus-menerus sepanjang tahun mendatang. Warisan lagu-lagunya, mimpinya terhadap dunia yang akan datang, dan obsesinya untuk berubah akan selalu diingat oleh generasi yang akan datang. Mimpi Michael akan selalu hidup, karena mimpinya bukanlah halusinasi dari orang kesepian, mimpinya ialah vis dari semua orang yang bisa memimpikan sesuatu yang besar.
Jackson, kami juga merasakan frustasimu dan kami akan mengubahnya menjadi sumber energi untuk mewujudkan mimpimu, untuk “membuat dunia yang lebih baik untukmu dan untukku”. Saya tak akan mengucapkan selamat tinggal untukmu wahai sahabat, karena dalam mimpimu itu perjumpaan kita terus berlanjut….
Penulis ialah aktivis spiritual, pengarang 120 buku lebih.
Anand Krishna , Jakarta | Sabtu, 4 Juli 2009 | Opini
Terjemahan oleh Nunung, source: The Jakarta Post
No comments:
Post a Comment