Thursday, June 18, 2009

Perfeksionis atau OCD??

Pembaca sudah pernah nonton pilm The Aviator blom? nah, di pilm itu kan si Howard Hughes terlihat gila akan kebersihan. Ia membuang setiap lap yang telah digunakannya, ia mencuci tangan kuat-kuat di kamar mandi dengan sabun khusus, ia takut menyentuh tombol pintu kamar mandi untuk keluar sehingga harus menunggu orang masuk lebih dulu supaya ia bisa keluar tanpa menyentuh apapun, ia hampir selalu mengenakan sarung tangan dan tidak mau berjabatan tangan dengan orang lain, ia membakar seluruh pakaiannya ketika diputuskan Hepburn, ia juga selalu minta piring, sendok, garpu dan serbet makan yang baru setiap kali makan. Belum lagi masalah baju yang harus selalu baru, handuk yang selalu baru, semua serba baru. Pria yang luar biasa perfeksionis ini bahkan tak tahan melihat noda di jas lawan bicaranya dan menyuruh si lawan bicara untuk membersihkannya terlebih dulu sebelum meneruskan pembicaraan.

Begitulah kira-kira kondisi orang yang mengalami obsessive compulsive disorder (OCD) atau gangguan obsesi dan kompulsi. Obsesi adalah pikiran, imajinasi,atau dorongan yang terus-menerus dan tidak dapat dikontrol. Sementara itu, kompulsi merupakan kondisi saat seseorang melakukan aksi secara terus-menerus atau berulang, yang kerap sesuai “peraturan” yang mereka yakini. Normalnya, orang bisa mengendalikan pikiran dan perilakunya melalui sistem yang diproses dalam otak.

Pada orang OCD, ide atau pikiran muncul berulang-ulang, mendesak, tidak lazim,tidak bisa dikendalikan. Akibatnya,yang bersangkutan merasa tidak nyaman. Penderita OCD sendiri sebetulnya tidak menghendaki hadirnya pikiran-pikiran yang kerap tidak realistis tersebut. Dia juga kurang paham mengapa pikiran itu muncul. Namun, dia tidak berdaya karena tidak bisa mengendalikan diri. Seolah ada dorongan atau “paksaan” yang mengharuskan melakukan tindakan yang tidak dicemas inginkan. Mirip dengan cegukan, kita tak menginginkan tapi tak dapat menolaknya. Itu sebabnya, OCD juga kerap disebut cegukan mental. Celakanya, perilaku itu dilakukan berulang-ulang sehingga timbul kelelahan jiwa dan raga.

“Kecemasan melanda ketika ide atau pikiran itu ditahan dan tidak tersalurkan. Dia menjadi tegang dan cemas,lalu baru lega setelah idenya tersalurkan,” ujar psikiater Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta, dr Tun Kurniasih Bastaman SpKJ. Dr Tun, sapaan akrabnya, mencontohkan perilaku yang tergolong OCD, misalkan pada malam hari merasa cemas apakah pintu rumah sudah terkunci dengan baik. Terdorong rasa dicemas dan penasaran berlebihan, orang tersebut kemudian mengecek berulang untuk memastikan pintu telah terkunci. Namun, tetap saja pikiran itu terbawa hingga ke tempat tidur. “OCD itu merugikan diri sendiri. Sebab, yang bersangkutan menjadi terhambat karena terus mengulang, bolakbalik, tak kunjung selesai sehingga banyak waktu yang terbuang,” ungkapnya.

Dalam kehidupan sehari-hari banyak perilaku yang tampak seperti penderita OCD, misalnya ada orang yang harus berkali-kali mengecek apakah sudah mengunci pintu dengan benar, atau ada orang yang berkali-kali merapikan diri karena tidak ingin terlihat berantakan. Namun sampai batas-batas tertentu, kondisi tersebut sebenarnya lebih tepat disebut sebagai perfeksionisme (orang yang menuntut segala sesuatunya berjalan dengan sempurna).

Perfeksinisme dari sudut pandang psikologi, adalah suatu keyakinan pada diri individu bahwa kesempurnaan dapat dan harus dicapai. Sedangkan dalam bentuk patologis (cenderung penyakit), perfeksionisme adalah suatu keyakinan pada diri seseorang bahwa segala sesuatu yang kurang sempurna tidak dapat diterima / tidak dapat ditoleransi.

Perfeksionisme umumnya berakar dari pola asuh dalam keluarga yang cenderung otoritarian (orangtua memberikan kontrol yang kuat dan tinggi pada anak-anaknya, bersamaan dengan cinta bersyarat - artinya penghargaan dan cinta hanya akan diberikan jika anak mengikuti keinginan orangtua). Pola yang demikian akan tertanam pada diri anak hingga ia beranjak dewasa.

Kecenderungan perfeksionisme berbeda dengan perilaku OCD, meski keduanya sama-sama mengandung unsur kompulsif. Seseorang yang menderita OCD memiliki beberapa kecenderungan (obsesinya disebabkan oleh kesemasan yang sulit diterima dengan akal sehat). Terdapat banyak pikiran, dorongan, dan bayangan yang tidak berkaitan dengan masalah nyata. Bagi penderita OCD, semua itu berusaha ditekan atau dihilangkan dengan pikiran atau perilaku lain yang bersifat kompulsif.

Ada dua kelompok obsesi dan kompulsi, yakni kelompok gangguan cemas (OCD itu sendiri) serta gangguan kepribadian. Bagi individu yang mengalaminya, OCD terasa sangat menyiksa akibat pengulangan perilaku yang melelahkan secara fisik dan mental. Sementara itu, individu dengan gangguan kepribadian biasanya tidak mengalami masalah, asalkan dia mengikuti “aturan” yang dianut. Misalkan orang-nya perfeksionis, segala sesuatu harus tepat waktu. Sepanjang dia mengikuti aturan itu, tidak ada masalah. “Namun, jika dia memaksakan kepada orang lain, yang terjadi adalah orang lainnya ikut menderita,”ujar Tun. OCD umumnya terkait kejiwaan. Kepala Departemen Psikiatri FKUI/RSCM dr Irmansyah SpKJ mengatakan, ada berbagai faktor penyebab OCD, antara lain aspek genetik, lingkungan, pengalaman masa kecil.


Beberapa contoh OCD:

Checkers
merupakan orang yang teropsesi untuk selalu memeriksa. Penyebabnya adalah kecemasan uyangn irasional. Misalnya, bila ia tidak mengecek berulang kali dia merasa bahaya mengintai setiap saat dan bisa mencelakasi diri dan sekelilingnya. Jika hal buruk tersebut terjadi, maka ia menganggap dialah orang pertama yang harus disalahkan.

Washers and cleaners
Merupakan orang yang memiliki ketakutan irasional terkontaminasi kuman, sehingga secara kompulsif akan berusaha menghindarkan diri dari kontaminasi tersebut, misalnya selalu membersihkan diri. Walaupun sudah berkali-kali mencuci, ia tidak kunjung merasa aman. Pada beberapa kasus, tipe ini terjadi akibat trauma diperkosa (atau diperlakukan tidak senonoh secara seksual), sehingga ia merasa dirinya terus menerus kotor.

Orderers
Merupakan orang yang fokusnya mengatur segala sesuatu agar tepat pada tempatnya. Mereka akan menjadi sangat tertekan apabila benda-benda tersebut dipindahkan, dipegang, atau ditata dengan orang lain.

Obsessionals
Merupakan orang yang memiliki perasaan obsesif dan intruktif, bahkan terkadang menakutkan jika dirinya akan mengakibatkan kemalangan atau kecelakaan.

Hoarders
Merupakan orang yang senang mengumpulkan barang-barang yang tidak berharga.


Contoh perilaku OCD yang kerap dijumpai:

> Merasa cemas apakah sudah mengunci pintu dengan baik sehingga mengecek berulang-ulang.
> Cemas dan khawatir apakah sudah mematikan api kompor, lalu mengecek berulangulang
> Berganti baju hingga lebih dari 10 kali setiap kali hendak pergi kerja.
> Mencuci alat makan atau baju berkali-kali karena takut tidak bersih atau higienis.
> Wudu berjam-jam karena merasa selalu batal
> Ketika sedang mengikuti kuliah di dalam kelas, tiba tiba tebersit nama anjing temannya. Dia berusaha mengingat, tapi tak kunjung ingat sehingga merasa terganggu. Ini mendorong dia keluar kelas untuk menelepon temannya dan menanyakan nama anjingnya. Tidak berhenti sampai di situ, beberapa saat kemudian dia menanyakan lagi dan lagi.

Penderita OCD merasa sangat terganggu dengan perilaku kompulsifnya, namun tidak berdaya untuk menghindarinya.


Penanganan OCD

Sejumlah studi menunjukkan adanya gejala kelainan saraf di otak pada tingkat transmisi biomolekuler yang berfungsi menghantarkan pesan antarsel saraf. Akibatnya, sistem kerja otak terganggu. “Kondisi ini mungkin saja diturunkan secara genetik,” ujar Irmansyah. Seseorang berpeluang lebih besar terkena OCD jika ada anggota keluarganya yang menderita OCD. Namun, menurut Irmansyah, sulit membedakan apakah suatu OCD itu disebabkan faktor genetik ataukah lingkungan.

Penanganan OCD jelas memerlukan dukungan mental dari keluarga dan lingkungan sekitar, termasuk dokter. Terapi dilakukan melalui psikoterapi untuk meredakan ketegangan dengan obat-obatan atau kombinasi keduanya.

Terapi perilaku pada anak OCD, misalnya, diberikan melalui pemberian reward jika dia mampu meredakan ketegangan, bisa mengendalikan atau menghentikan pengulangan. Bentuk lain adalah terapi modifikasi perilaku dengan cara menjauhkan si OCD dari sarana pemicu. Di samping itu, hampir mirip depresi, ditemukan bahwa pada OCD juga terjadi kekurangan serotonin pada otak. Sebab itu, pengobatan umumnya dilakukan melalui obat-obatan antidepresi. Untuk kasus OCD berat, terkadang ditambahkan obat antipsikotik.

Terapi kognitif bertujuan menjauhkan pasien OCD dari pemikiran obsesif dan membantu mereka untuk menyadari bahwa perilaku kompulsif (yang mengikuti pemikiran obsesif tadi) sesungguhnya tidak mampu mengurangi kecemasan yang mereka rasakan.

Sementara itu, terapi perilaku mencoba menempatkan pasien pada situasi yang mencetuskan pemikiran obsesifnya itu.Kemudian, dilihat bagaimana upaya pasien menghentikan tindakan kompulsi yang mengikutinya. Jika pasien terlihat mulai mampu menoleransi atau mengurangi perilaku kompulsinya, terapi akan ditingkatkan atau ditambah paparannya. Pada terapi kelompok lebih efektif dari segi biaya dibanding terapi individual. Dengan demikian, berpotensi untuk diterapkan sebagai terapi yang dapat menjangkau lebih banyak pasien OCD.


No comments: