Prolog
Bagai bisul pecah, akumulasi kekecewaan mahasiswa menemui titik nadirnya. Senin pagi (02/05), ribuan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) tumpah ruah memenuhi halaman Rektorat UGM. mereka menyuarakan tiga tuntutan pada aksi tersebut, yakni perbaikan kebijakan uang kuliah tunggal (UKT), kebijakan relokasi salah satu kantin di UGM, dan pencairan tujangan kinerja tenaga pendidik.
Demonstrasi bertajuk Pesta Rakyat Gadjah Mada ini berlangsung dari pagi hari sekitar jam 09.00 WIB hingga malam hari. Bukan tanpa sebab nama Pesta Rakyat dipilih dalam demonstrasi kali ini. Walau panas terik, masa demonstran tetap bersemangat menyuarakan aspirasinya. Sembari bernyanyi dan melakukan koreografi yang ciamik.
Para mahasiswa dari berbagai fakultas ini juga mengkritik Rektor UGM, Dwikorita Karnawati, yang menyebutkan bahwa demo yang digelar hanyalah sebuah simulasi dan sebagai cara UGM untuk mendidik mahasiswa dalam tataran politik praktis.
“Saat diwawancarai di radio, Rektor berbicara jika demo ini hanya sebuah simulasi. Apa yang dikatakan Rektor itu bohong,” ujar orator di depan ribuan mahasiswa yang melakukan aksi. Dia menegaskan bahwa unjuk rasa ini adalah benar-benar sebuah aksi untuk menyampaikan aspirasi. “Ini adalah aspirasi kami,” tegasnya.
Terlepas dari semua rangkaian demo yang telah terjadi. Serta tiga tuntutan yang sudah di sepakati oleh pihak rektorat. Dari pengamatan penulis di lapangan, terdapat beberapa hal yang bisa diambil dari aksi massa ini. Faktor ini lah yang mungkin membedakan Pesta Rakyat Gadjah Mada dengan demonstrasi pada umumnya. Hal-hal yang dimaksud adalah:
Pertama, Tetap Menjaga Kebersihan
Setiap kerumunan biasanya memiliki potensi meninggalkan sampah yang berserakan. Apalagi dalam demonstrasi, di mana massa yang ada cenderung tidak terkendali. Namun, dalam demo Pesta Rakyat kali ini, kebersihan sungguh benar-benar terjaga. Faktor pertama karena orator yang memang dengan intens menghimbau kepada masa aksi untuk tetap menjaga kebersihan. Faktor selanjutnya yaitu adanya kesadaran yang timbul berbarengan dengan himbauan tersebut.
Kedua, Tidak Ada Bakar Ban, tapi Justru Drum Band
Bila dalam format lama aksi demonstrasi banyak melakukan aksi bakar Ban. Dengan tujuan untuk memblokade jalan, serta melecut semangat massa aksi. Tidak demikian halnya yang terjadi dalam aksi demonstrasi kemarin. Karena justru yang dibawa sebagai penyemangat massa aksi adalah seperangkat Tim Drum Band yang sudah malang melintang di berbagai aksi “Suporteran”. Nyatanya hal ini juga sangat efektif melecut semangat demonstran.
Ketiga, Bukan Anarkis, tapi Pesta
Banyak kegiatan demonstrasi yang diasosiasikan sebagai tindakan anarkis. Hal ini tidak lain karena upaya mencari perhatian dengan cara merusak fasilitas publik, membakar ban serta memblokade jalan. Hal ini juga tidak berlaku pada demonstrasi di UGM kali ini. Alih-alih masa aksi main keras dan kontak fisik dengan petugas, justru yang terjadi adalah keceriaan menyanyikan yel-yel kritikan, disertai dengan kata-kata sarkastis yang menohok. Hal ini semakin lengkap dengan berbagai koreografi yang dilakukan oleh massa aksi. Nyatanya kata-kata sarkastis juga sama efektifnya untuk mengetuk hati nurani pejabat-pejabat rektorat, karena ternyata mereka juga masih punya hati.
Keempat, Seluruh Elemen Universitas yang Bersatu
Tidak hanya mahasiswa yang melakukan demonstrasi, namun juga ada dari tenaga pendidik serta karyawan universitas. Mereka bergabung karena tindakan dzalim rektorat yang belum membayarkan tunjangan karyawan selama 18 bulan atau tiga semester. Massa aksi selanjutnya adalah pedagang kantin sosial humaniora atau lebih sering disebut Bonbin. Mereka bergabung karena tempat mereka mencari peruntungan akan segera digusur. Lalu, rencananya akan digantikan oleh plaza dari salah satu bank nasional. Masing-masing dari karyawan maupun dari pedagang kantin memiliki perwakilannya sendiri untuk berorasi di depan khalayak.
Ada juga unsur-unsur lain yang bergabung, seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) serta jurusan yang memiliki spesialisasi tertentu turut ambil bagian. Misalnya saja dari Fakultas kedokteran yang mendirikan tenda medis di sekitar lokasi aksi. Kemudian ada juga UKM Kerohanian Islam yaitu Jamaah Salahudin (JS) yang menyediakan fasilitas bagi mahasiswa muslim yang ingin melaksanakan solat, baik dhuhur maupun ashar dengan menggelar karpet di dekat kerumunan massa. Walau jiwa dan raga panas, kita harus tetap mengingat Tuhan. Agar jihad yang sedang dilakukan mendapat ridho dari Yang Maha Esa.
Kelima, Bersatu demi Almamater
Untuk sejenak dalam demonstrasi Pesta Rakyat ini Mahasiswa UGM meletakkan embel-embel golongan, organisasi, serta pandangan politiknya. Hal ini tidak terlepas dari kegelisahan yang sama-sama timbul karena permasalahan-permasalahan di kampus. Sehingga, munculah rasa kebersamaan serta senasib sepenanggungan yang mengatasi keegoisan golongan tersebut. Rasa ini pada giliranya bertransformasi menjadi solidaritas almamater. Hal inilah mengapa masa aksi yang datang pada demonstrasi kemarin mencapai angka ribuan.
Keenam, Like and Share
Orator di depan menginstruksiakan kepada masa aksi untuk memfoto dan membuat caption yang relevan terkait aksi masa yang sedang terjadi. Hal ini tidak lain untuk mengundang masa aksi yang lebih banyak lagi, serta mencoba membuat framing yang lebih berimbang tentang pemberitaan yang kadang kala tidak sesuai fakta di lapangan. Nyatanya ini efektif karena semakin sore masa aksi semakin banyak. Hashtag seperti #bUKTicinta #inibukansimulasi #pestarakyat malang-melintang menghiasi berbagai sosial media.
Demikianlan beberapa pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari demonstrasi Pesta Rakyat Gadjah Mada. Pelajaran ini kiranya dapat menjadi opsi tipe demonstrasi ke depanya. Agar citra demonstran anarkis yang justru kontra-produktif dapat sedikit demi sedikit dikurangi. Nyatanya, tidak perlu keras untuk mencari perhatian serta menekan, yang penting cerdas dalam mengungkapkan perasaan. Tidak ada lagi bakar-bakar ban, tak ada bom molotov, yang ada hanyalah joget, yang ada adalah goyang, mari berpesta!
No comments:
Post a Comment